Berbaikan dengan Jamu
Dulu, dulu banget. Manakala aku
masih kecil. Aku alergi banget sama yang namanya jamu. Bukan alergi seperti ketika
makan sesuatu atau alergi karena cuaca dingin. Alergi ini ialah semacam phobia.
Bukan tanpa alasan, ketakutanku yang teramat parah ini diakibatkan oleh pengalaman
buruk yang pernah menimpaku.
Nafsu makan yang buruk nampaknya
telah menjadi masalah yang cukup polemik di kalangan anak-anak. Dan hal serupa
juga menimpaku. Makanku sangat selektif. Aku hanya mau makan ini, tidak mau
makan itu, itu dan itu. Selain itu, porsi makanku juga sangat sedikit. Pada
sepiring nasi, seringnya tidak habis. Orang tua mana yang tidak geregetan
melihat nafsu makan ankanya kayak gitu. Begitupun dengan ibuku. Beliau adalah
orang yang paling getol melihat nafsu makanku yang seperti artis lagi
menjalankan diet ketat. Oleh karenanya, berbagai cara dilakukan oleh ibuku demi
meningkatan nafsu makanku, mulai dari membuat makanan-makanan kesukaanku (agar
setidaknya porsi makanku bisa nambah), menghias makanan agar terlihat menarik
dan mood makanku bisa membaik, hingga menakut-nakuti aku dengan dalih jika aku tak menghabiskan makanku maka ayam peliharaan
kami akan mati. Meski aku sendiri merasa ganjil dengan dalih tersebut.
Logikanya jika makanan itu kuhabiskan malah justru ayamnya yang bakalan mati
akibat nggak kebagian makanan. BUKAN. Jika aku tak menghabiskan makanan justru
ayamnya yang mati. Aneh sekali bukan?
Tak habis akal, ibuku mulai
berinisiatif baru dengan memaksaku minum jamu untuk meningkatkan nafsu makanku.
Maklum, kala itu belum begitu banyak beredar vitamin ataupun suplemen penambah
nafsu makan yang lezat lagi delicious
seperti sekarang ini. Toh, semisal sudah banyak beredar pun, kemungkinan besar
ibuku juga tak bakalan beli. Hal ini diakibatkan oleh kuatnya prinsip ekonomi
yang dipegang teguh ibuku. Selain harus mengeluarkan uang untuk membeli vitamin
atau suplemennya, tentunya juga bakalan merogoh saku lebih dalam untuk biaya transportasi
menuju kota, akibat lokasi rumah kami jauh di pelosok desa.
Jamu menjadi pilihan yang paling
jitu. Karena, selain murah, jamu juga sudah terkenal keefektifannya dalam
menangani berbagai masalah kesehatan, termasuk mengenai kasus nafsu makan
seperti ini. Bahan baku jamunya tinggal dipetik di lingkungan sekitar rumah dan
bisa diracik sendiri dengan mudah dan enteng.
Pengalaman pahit itu terjadi
manakala aku tak mau minum jamu yang telah diracikkan ibuku dengan susah payah.
Ibuku terpaksa mencekokiku. Tangan dan kakiku dipegangi erat dan jamunya
dipaksa masuk ke mulutku. Pahit teramat sangat. Itulah efek seketika yang
kurasakan manakala jamu itu telah berhasil menyentuh lidahku dan menyusuri
kerongkonganku secara perlahan. Bagaimana tidak? Jamu itu tak lain ialah jamu
temulawak. Tak hanya anak kecil, orang dewasa pun tahu kalau jamu temulawak itu
rasanya pahit sekaliiiii.
Naasnya, hal itu tak hanya
berlangsung sekali, dua kali melainkan berulang kali, hingga aku mulai belajar
mengambil hikmahnya.
“Aku harus makan dengan lahap agar
aku tak dipaksa lagi untuk minum jamu”.
So bisa dikatakan, kala itu keefektifan
jamu temulawak dalam meningkatakan nafsu makanku bukan karena kandungan gizinya. Tapi itu tak
lain ialah efek jera yang kurasakan akibat rasa pahit yang ditimbulkannya.
Dewasa ini aku makin sadar. Karena
tak selamanya aku harus perang dingin dengan jamu. Jamu punya khasiat yang banyak
sekali. Apalagi moment di saat-saat sakit perut akibat datang bulan. Keberadaan
jamu, khususnya jamu beras kencur, menjadi malaikat andalanku.
Selain
jamu beras kencur, jamu lain yang tergolong sering saya konsumsi ialah jamu
gepyokan.
Ini
foto ibu penjual jamu gepyokan ketika menuangkan jamunya untuk saya.
Tulisan ini diikutkan lomba "Lestarilah Jamu Indonesia" yang diselenggarakan Biofarmaka IPB
Yang didukung oleh:
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection
http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/jurnal
<a href="http://biofarmaka.ipb.ac.id/"><img src="http://biofarmaka.ipb.ac.id/biofarmaka/2015/Logo%20Pusat%20Studi%20Biofarmaka%202015.png" alt="Dies Natalis PSB 2015" width="200" height="175" border="0" /></a>
Comments
Post a Comment