Sebuah titik balik.
Masa-masa ketika hendak lulus SMA adalah masalah paling
pelik yang pernah kujalani. Bagaimana tidak? Kala itu aku bingung setengah mati
untuk menentukan jurusan dan universitas sebagai pelabuhan untuk menuntut ilmu
selanjutnya. Sampai pada akhirnya, hatiku merasa cocok jika aku bisa kuliah di
jurusan Gizi kesehatan UGM. Hemmm kau tahu, aku begitu mengidolakan mimpiku
yang satu ini, hingga hampir di setiap malam, aku selalu memimpikannya.
Namun, sial,,, mimpiku ini tidak terwujud, aku kecewa sekali
bahkan mungkin lebih kecewa, ketimbang
i…. yang telah susah payah membangun seribu candi, namun cintanya tetap
ditolak.
Saat hendak pendaftaran tes tulis, aku dan orang tuaku
sempat ada konflik karena aku memaksa untuk daftar di Gizi kesehatan UgM lagi,
namun mereka tak menyutujuinya, beliau memaksaku untuk daftar di jawa timur
saja. Jadi ok-lah aku memilih gizi UB dan kimia UM, jujur pilihan keduaku bukanlah pilihan murni
di dalam hatiku, itu tak lebih karena dorongan orang tuaku yang memaksaku ntuk
masuk ke jurusan kimia, dan sebenarnya beliau memintaku untuk daftar kimia di
UNAIR tapi aku berpikir ulang, aku terlalu kecil untuk bisa mencicipi
pendidikan di universitas segedhe itu. aku minder. Oleh karenanya, aku terpaksa
memilih UM.
Kau tahu, dalam setiap lantunan doaku, aku selalu meminta
untuk bisa diterima di Gizi UB dan seandainya tidak masuk di Gizi UB, lebih
baik juga tidak keterima di kimia UM. Hingga akhirnya pengumumnan itu datang,,
Sebuah sms masuk ke hpku “ ar selamat kamu keterima di
malang” dari teman sekelasku.
Ya iyalah secara aku daftarnya di malang semua, kubalas smsnya “ malang ? UB apa UM?”
“ kimia UM”
Kau tahu kalimat pertamaku yang terucap ketika mendengar
pengumuman tersebut. Ya, bukan rasa syukur yang kupanjatkan. Tetapi justru
tangisan, juga bukan tangisan syukur, tapi tangisan kecewa untuk yang kedua
kalinya. Aku tak menyangka Allah sebegitu tega kepadaku? Kenapa aku harus
tersesat di rimbanya kimia UM? Mengapa takdirku begitu buruk? Beribu pertanyaan
yang intinya merujuk untuk selalu menyalahkan takdir yang telah begitu kejam
melemparkanku ke dalam dunia yang tak kuinginkan.
Sampai semester demi semester berlalu aku masih saja
menyalahkan takdir.
Dan baru di semester ini aku tersadar, terbuka mataku, bahwa
Allah memang tak pernah salah menuliskan takdir untuk hamba-Nya. Kau tahu
kenapa?
Ternyata dengan jalan kuliah di UM ini, Allah mengabulkan
mimpi kecilku ketika aku masih duduk di bangku sekolah dengan rok biruku.
Tentang sebuah mimpiku untuk bisa bertemu dengan dosen penulis buku biologi
(mata pelajaran favoritku) yang setiap hari selalu kubaca, meski sudah berulang
kali. Dan aku tak pernah bosan karena banyak gambar yang disediakan dan
bahsanya ringan. Bapak istamar syamsuri. Ya, beliau adalah sesosok orang yang kukagumi
tersebut. Dan tak kusangka, di semester ini aku bisa bertemu beliau, berjabat
tangan dan mencium tangan beliau, subhanaAllah. Terima kasih ya Allah. Dan kau
tahu yang lebih menggembirakan lagi, lebih dari itu semua. Aku mendapat
kesempatan untuk dibimbing langsung oleh beliau, dalam penulisan karya tulis
ilmiah.
Comments
Post a Comment